Jakarta - Berbicara tentang Kekayaan intelektual tidak hanya mengenai pelindungan karya atau ciptaan, tetapi juga mengenai eksklusifitas dan hak ekonomi. Hal tersebut telah menimbulkan dilema di tengah pencarian obat dan vaksin untuk meredakan penyebaran virus Corona sejak awal 2020.
Beberapa lembaga dan perusahaan farmasi dilaporkan menuai pro dan kontra terkait pendaftaran paten obat Corona karena dinilai “mementingkan” hak ekonomi ketimbang penyembuhan masyarakat di seluruh dunia. Sebagian orang percaya bahwa obat virus tersebut harus tersedia bagi banyak orang sehingga sifat eksklusif yang menjadi konsekuensi paten belum dibutuhkan. Obat tersebut harus dapat dijangkau siapa saja yang membutuhkannya.
Namun di sisi lain, perlindungan paten obat virus Corona juga dinilai sangat penting bagi perusahaan atau lembaga farmasi. Pengembangan dan uji coba terhadap obat atau vaksin telah menghabiskan banyak investasi dan waktu dari para peneliti.
Menjawab hal tersebut, Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) dan Rahasia Dagang, Dede Mia Yusanti mengatakan bahwa paten obat Corona bisa didaftarkan dan mendapatkan pelindungan kekayaan intelektual tanpa mengorbankan kepentingan umum. Dalam sistem Paten yang berlaku secara umum di dunia, pendaftaran dan pemberian pelindungan paten, misalnya pada paten obat-obatan dan alat kesehatan, tidak ada pembatasan pada adanya situasi darurat seperti kasus pandemi Covid-19 yang saat ini sedang dihadapi hampir seluruh negara di dunia.
“Artinya, jika obat, vaksin atau alat kesehatan tersebut memenuhi kriteria patentabilitas, yaitu baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri, maka produk tersebut dapat diberi paten, walaupun obat tersebut dibutuhkan secara umum oleh masyarakat dunia dalam mengatasi pandemi ini,” Dede menjelaskan.
Agar obat itu tersedia secara masif dalam keadaan kedaruratan, maka jalan keluar yang tersedia dalam sistem paten adalah melalui mekanisme Lisensi wajib dan/atau Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (Government Use). Berdasarkan ketentuan Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Pasal 31, dimungkinkan bagi suatu negara mengajukan lisensi wajib atau Government use, khususnya dalam situasi darurat terkait dengan kesehatan di mana pada situasi ini dimungkinkan pelaksanaan paten tanpa izin dari pemilik paten.
Dia melanjutkan bahwa di Indonesia dalam UU Paten No. 13 tahun 2016, Lisensi wajib dan pelaksanaan paten oleh pemerintah telah diatur di mana pada UU Paten menyatakan bahwa pemerintah dapat melaksanakan paten tanpa izin dari pemegang paten dalam situasi yang mendesak di antaranya untuk memproduksi produk farmasi dan/atau bioteknologi yang harganya mahal dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah yang banyak, menimbulkan kecacatan yang signifikan, dan merupakan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Dengan demikian, penemu obat tetap akan mendapatkan hak ekonomi dan ciptaannya terlindungi.
“Jika melihat ketentuan ini, tentunya situasi pandemi Covid-19 memenuhi ketentuan untuk pemerintah mengambil langkah untuk menyediakan obat yang diperlukan bagi pengobatan yang dibutuhkan melalui mekanisme Government use,” tambahnya.
Sementara itu, proses pendaftaran paten obat maupun vaksin yang berkaitan dengan pandemi menurut Dede akan mengikuti proses pendaftaran paten lainnya. Setiap pengajuan permohonan paten harus memenuhi persyaratan dan proses yang berlaku yaitu proses pemeriksaan formalitas, pengumuman, dan pemeriksaan substantif harus diikuti. Namun, pelindungan patennya telah dimulai sejak pengajuan permohonan tersebut memperoleh tanggal penerimaan (filing date) meski pemberian paten akan diberikan setelah proses.
“Sesuai dengan UU yang berlaku dimungkinkan bagi pemohon untuk mengajukan percepatan pengumuman sehingga proses dari pengajuan sampai selesai pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun demikian ketentuan ini berlaku umum tidak hanya untuk keadaan mendesak,” imbuh Dede.
Sejauh ini, belum ada pendaftaran obat maupun vaksin terkait Covid-19 yang didaftarkan di Indonesia. Sementara untuk hidroksiklorokuin, yang sempat disebut-sebut sebagai obat Corona, patennya sudah tidak ada lagi karena klorokuin merupakan obat yang telah digunakan sejak lama.
Di sisi lain, bahan-bahan dari formula BCL, yang juga disebut mampu menghalau virus Corona, memang sudah diajukan permohonan patennya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan permohonan tersebut sudah mendapatkan tanggal penerimaan. Namun hal itu bukan berarti formula tersebut bisa serta merta digunakan untuk mengobati pasien Covid-19.
“Setiap formulasi obat yang berbeda dari formula yang ada sebelumnya, baru dapat digunakan pada manusia setelah memperoleh izin edar pemakaian dari BPOM. DJKI hanya memberikan pelindungan terhadap patennya karena kriteria patentabilitas. Namun demikian untuk bisa digunakan pada manusia, perlu dinilai efikasi, toksisitas dan keamanannya yang menjadi kewenangan Badan POM,” pungkasnya.
Dalam masa-masa pandemi, DJKI tetap melakukan pelayanan pendaftaran paten dan kekayaan intelektual lain melalui website
www.dgip.go.id. Khusus untuk paten, masyarakat bisa mengakses paten.dgip.go.id.
Penulis: KAD
Editor: AMH