Pendaftaran Paten dan Monetisasinya Rendah, Peneliti di Indonesia Perlu Kolaborasi dengan Industri

Jakarta - Data Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) menunjukkan bahwa daftar paten oleh peneliti Indonesia hanya satu per enam dari peneliti asing di Tanah Air. Hal ini diakui Achmad Affadi, Direktur Inovasi Institut Teknologi Surabaya dan Dede Mia Yusanti, Direktur Paten DTLST, Rahasia Dagang dan Paten karena masih kurangnya kolaborasi antara peneliti dengan industri yang mengerti kebutuhan pasar.

Sebagai data perbandingan pada 2009, bahkan paten yang didaftarkan di Indonesia sejumlah 415 sedangkan dari penemu asing sebanyak 4.103 aplikasi. Paten yang mendapat grant di Indonesia mulai tercatat pada 2016 sebanyak 292 paten dari penemu Indonesia, sedangkan dari asing sebanyak 2.713 paten terdaftar. 

“Kenapa kebanyakan dari asing, karena dari asing lebih banyak yang mengajukan permohonan. Sementara itu, pemahaman kita terhadap paten juga masih kurang. Biasanya penelti kita jago dalam penelitiannya, tapi ketika menuangkan invensinya itu nggak nyambung dengan klaimnya. Jadi harus revisi berkali-kali, jadi itu kenapa alasan kenapa (paten) dalam negeri agak lama (bertambah jumlahnya),” papar Dede dalam IP Talks bertajuk The Art of Monetizing Your Patent yang digelar secara live streaming di YouTube DJKI Kemenkumham, Jumat (24/4).

Affandi sepakat bahwa pada awal 2000, para perguruan tinggi Indonesia baru bergeser ke budaya penelitian. Hal itu terlihat pula dalam grafik data WIPO pada 2016-2018 di mana pendaftaran paten peneliti Indonesia sudah mencapai 1.400-an aplikasi. 

“Dalam karir saya 30 tahun di ITS, memang harus diakui ada kesulitan para peneliti menuliskan invensinya dengan bahasa hukum ya. Dulu memang belum ke arah komersialisasi orientasinya, lebih berakhir ke laporan. Tapi di tahun 2015 ke sini, kami mulai bekerjasama dengan pihak industri untuk melakukan komersialisasi,” papar Affandi.

Menurut Dede, monetisasi paten di Indonesia untuk industri baru sekitar 10 persen dari yang didaftarkan. Hal itu sebetulnya merugikan peneliti sendiri karena harus terus membayar pelindungan patennya, namun tidak mendapatkan keuntungan ekonomi dari penemuannya.

Di sisi lain, Affandi mengatakan penyebaran pandemi Covid-19 telah menunjukkan kesadaran itu pada para akademisi dalam membuat invensi untuk menyokong industri nasional. ITS yang bekerjasama dengan Rumah Sakit UNAIR dan BPFK telah membuat low cost ventilator untuk menambal kekurangan ventilator di rumah sakit yang merawat pasien Corona. 

“Kami berkolaborasi dengan industri dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ini….Kami belajar banyak dari Covid ini sehingga ke depan kita akan bisa lebih mandiri dalam mengembangkan industri nasional dalam pendaftaran patennya ini bisa lebih tinggi, karena kalau masih pakai teknologi luar artinya kita masih impor teknologi,” kata Affandi.

Dede menjelaskan bahwa meski masih dalam pengembangan, ventilator tersebut bisa dilindungi patennya asalkan sudah memenuhi syarat-syarat pendaftaran paten. Pendaftaran tersebut tidak hanya penting untuk pelindungan invensi, tetapi juga penghargaan bagi para penemunya dari sisi ekonomi dan untuk pengembangan invensi lebih lanjut.

“Invensi tanpa komersialisasi itu bukan invensi. Sebuah invensi sangat penting untuk dikomersialisasikan, caranya ada banyak seperti dijual putus, dilisensikan, diproduksi sendiri produknya, dipindahkah kepemilikannya berdasarkan kontrak, merger dan akuisisi hingga klaim pelanggaran paten,” lanjutnya. 

Affandi juga menambahkan bahwa ada banyak perusahaan atau venture IP yang tertarik untuk membeli atau membiayai produksi paten. Hanya saja, para peneliti harus mengetahui kebutuhan pasar sehingga invensinya relevan. Kata dia, tidak boleh ada ego sektoral antara peneliti, perusahaan dan pemerintah dalam pengembangan inovasi guna mengembangkan industri nasional, terutama di masa sulit ini.

“Dalam era Covid ini, kita terpuruk, ekonomi kita terpukur, tapi dengan IP dan kebersamaan ini kita bisa bersama-sama bangkit,” pungkasnya.

Penulis: DAW
Editor: KAD


LIPUTAN TERKAIT

Tren Pendaftaran Merek di Indonesia: Peningkatan Penggunaan Teknologi AI untuk Mempermudah Proses Penelusuran

Pemerintah Indonesia terus mendorong pendaftaran merek sebagai langkah untuk melindungi kekayaan intelektual (KI). Berdasarkan data terkini, permohonan merek terbanyak pada tahun 2024 tercatat pada kelas-kelas barang dan jasa tertentu. Data ini memberikan gambaran jelas mengenai jenis usaha yang paling banyak didaftarkan mereknya di Indonesia, yang mencerminkan perkembangan bisnis yang terus meningkat di berbagai sektor.

Kamis, 15 Mei 2025

DJKI Perkuat Integritas untuk Cegah Benturan Kepentingan

Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum Republik Indonesia terus memperkuat komitmennya dalam membangun birokrasi yang bersih dan profesional melalui webinar nasional bertema Integritas Pegawai DJKI: Menangkal Benturan Kepentingan Sejak Dini pada 15 Mei 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari langkah strategis dalam mewujudkan pelayanan publik yang adil dan transparan.

Kamis, 15 Mei 2025

DJKI Gelar Coaching untuk Akselerasi Karakter ASN Muda: Dorong Transformasi Potensi Menjadi Prestasi

Di tengah perubahan birokrasi yang semakin dinamis dan cepat, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum terus berinovasi dalam membentuk karakter aparatur yang adaptif dan unggul. Bersama Coachnesia, DJKI menyelenggarakan kegiatan Coaching untuk Akselerasi Karakter ASN Muda: Dari Potensi Menjadi Prestasi yang berlangsung pada Rabu, 14 Mei 2025 di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Hukum Republik Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Rabu, 14 Mei 2025

Selengkapnya