Menikmati Karya Ilegal di Rumah Tidak Memperbaiki Situasi Covid
Oleh Admin
Menikmati Karya Ilegal di Rumah Tidak Memperbaiki Situasi Covid
Jakarta - Merebaknya virus Corona telah membuat sebagian besar masyarakat harus di rumah selama berminggu-minggu. Hal tersebut telah membuat banyak orang merasa terjebak dan bosan sehingga memilih berbagai karya cipta seperti lagu, film dan buku sebagai penghiburan untuk mengisi waktu di rumah.
Sayangnya, sebagian orang memilih mencari dan menyebarkan karya ciptaan tersebut secara ilegal. Beberapa waktu lalu, marak di grup-grup WhatsApp mengedarkan buku elektronik (e-book) berformat PDF yang rupanya tanpa sepengetahuan para penciptanya.
Hal itu telah menimbulkan keresahan di kalangan pencipta. Karena untuk menghasilkan karya tulis, penulis membutuhkan waktu dan proses yang tidak mudah. Ketika buku sampai ke tangan pembaca, maka buku tersebut telah melibatkan banyak orang, mulai dari penulisnya, editor, ilustrator, desainer, percetakan, distributor dan kemudian dijual di toko buku atau via daring. Semua itu merupakan proses yang dilalui untuk melahirankan satu buku.
Ketika membaca buku bajakan, artinya selain kita tidak menghargai karya orang lain, kita juga telah memutus rezeki bukan hanya untuk penulisnya saja, akan tetapi termasuk orang-orang yang terlibat tadi.
Bila melihat kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) Pasal 40 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa buku dan semua karya tulis lainnya adalah ciptaan yang dilindungi. E-book sebagai karya tulis juga termasuk ciptaan yang dilindungi, yang pelindungan hak ciptanya sama dengan buku yang dicetak.
Melihat fenomena tersebut, Kepala Subdirektorat Pelayanan Hukum Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Agung Damarsasongko menyatakan tindakan tersebut merupakan pelanggaran baru di era digital sekarang.
“Ya sebetulnya kalau terkait dengan digital memang sebenarnya ada beberapa bentuk pelanggaran yang baru yang disebut dengan indirect infringement,” ungkap Agung Damarsasongko saat dihubungi via telepon, Kamis (16/4/2020).
Ia menjelaskan, indirect infringemen adalah pelanggaran secara tidak langsung. Jadi pelanggar secara tidak langsung biasanya melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan mendistribusikan antara teman dengan teman.
“Kadang-kadang dia minta uang dulu, nanti kamu saya kasih deh copy-annya, tapi kamu ganti uang saya sebagai pengganti usaha saya men-scan buku tersebut. Atau ada yang mengemasnya dengan menjual buku-buku itu ke dalam bentuk flashdisk,” ujar Agung saat memberikan contoh kasus.
Peredaran e-book dijejaring grup WhatApp dapat dikatakan ilegal apabila seseorang menggandakan dan menyebarkannya tanpa adanya izin dari Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta. Namun jika PDF tersebut merupakan bonus buku dari pembelian buku cetak misalnya, maka PDF itu legal.
“Dikatakan ilegal adalah kalau dia mengambil buku-buku tadi terus kemudian dia jual dan didistribusikan melalui jaringan digital atau melalui jaringan internet, nah itu baru bisa dikatakan pelanggaran,” tuturnya.
Ancaman dari pelanggaran tersebut adalah pidana, karena di dalam UU Hal Cipta dijelaskan mengenai adanya hak ekonomi dari seseorang atau pemegang hak cipta itu, dan adanya pendistribusian dalam bentuk yang sifatnya elektronik maupun non-elektronik.
“Jadi bisa menjual secara online atau menjual mendistribusikan secara WhatsApp ke WhatsApp atau mungkin dikirim melalui email. Tentunya ada nilai komersialnya yang diberikan, bisa dikatakan pelanggaran,” Agung menjelaskan.
Hal tersebut sesuai Pasal 9 ayat (2) UUHC yang menyebutkan bahwa Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Termasuk penerbitan Ciptaan, pendistribusian Ciptaan atau salinannya, dan penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya.
Agung menghimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati ketika mendapatkan edaran buku-buku e-book supaya tidak melanggar hak cipta, serta memperhatikan dampak yang ditimbulkan apabila mendapatkan buku secara ilegal.
Pastikan buku-buku tersebut adalah buku-buku yang memang bebas diakses. Ketika ada penawaran-penawaran buku gratis, kita perlu memperhatikan terlebih dulu, apakah buku tersebut sudah menjadi public domain atau buku itu memang boleh dibagikan secara gratis seperti buku-buku yang tergabung di dalam creative commons sepanjang tidak merubah nama pencipta ataupun isinya.
“Artinya untuk menghargai pencipta buku atau pemegang hak, kita tentunya harus memiliki komitmen untuk mendapatkan buku-buku yang secara legal,” himbaunya.
Tentunya dalam penegakan hukumnya juga harus ada keaktifan dari pencipta maupun penerbit untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang atau pihak berwajib bila mendapati pelanggaran hak cipta. Aduan tersebut bisa disampaikan kepada DJKI Kemenkumham melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa KI ataupun pihak Kepolisian RI.
Dengan membeli buku yang legal, berarti kita turut mendukung para pencipta untuk terus berkarya, terlebih di saat keadaan krisis seperti ini.
Sementara itu, beberapa seniman dan penulis telah memberikan izin agar karya mereka dapat digunakan secara gratis. Seperti diberitakan, penulis J.K Rowling telah mengizinkan guru menggunakan audio book Harry Potter untuk didengarkan secara gratis sampai Juli 2020. Sementara itu, banyak artis Indonesia maupun luar negeri yang telah melakukan konser dari rumah untuk menggalang donasi atau sekadar hiburan bagi mereka yang membutuhkan.