Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) kembali menggelar Seri Webinar Edukasi Kekayaan Intelektual yang kedelapan dengan tema Komersialisasi Indikasi Geografis. Acara ini menghadirkan Ketua Tim Kerja Indikasi Geografis, Irma Mariana, yang menjelaskan pentingnya indikasi geografis sebagai alat branding bagi produk khas suatu daerah.
Dalam paparannya, Irma Mariana menjelaskan bahwa indikasi geografis adalah bentuk pelindungan kekayaan intelektual bagi produk yang memiliki keterkaitan erat dengan daerah asalnya, baik karena faktor alam maupun warisan budaya yang melekat pada proses produksinya.
“Indikasi geografis bukan sekadar pelindungan hukum, tetapi juga strategi branding yang kuat untuk meningkatkan daya saing produk lokal di pasar nasional maupun internasional,” ujar Irma.
Irma menjelaskan bahwa pelindungan indikasi geografis memberikan dampak ekonomi positif bagi produsen dan rantai produksinya. Beberapa manfaat utama pelindungan indikasi geografis antara lain, memberikan jaminan kualitas dan karakteristik khas produk, yang menjadi alat branding dan meningkatkan reputasi serta permintaan pasar; merupakan hak eksklusif penggunaan tanda indikasi geografis, sehingga melindungi produk dari persaingan tidak sehat.
Selain itu, inidikasi geografis juga meningkatkan nilai jual produk, sebagaimana terlihat dalam perbedaan harga antara produk berindikasi geografis dan yang tidak. Misalnya, Kopi Arabika Gayo yang berharga Rp63 ribu per kg dibandingkan Kopi Kapal Api Rp35 ribu per kg, serta Beras Pandan Wangi Cianjur dengan yang harganya dua kali lipat dibandingkan beras biasa.
Salah satu contoh nyata dari keberhasilan komersialisasi indikasi geografis adalah Kopi Arabika Bantaeng.
“Sebelum terdaftar sebagai indikasi geografis, harga kopi ini hanya berkisar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per kg dan hanya dijual di daerah setempat. Setelah mendapatkan pelindungan indikasi geografis, harganya melonjak hingga Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta per kg, serta berpotensi diekspor hingga 5 ton ke pasar global,” ungkap Irma.
Keberhasilan komersialisasi indikasi geografis juga dapat dilihat dari produk internasional seperti Champagne dari Prancis yang mencatat penjualan global sebesar 6,3 miliar euro pada 2023, serta Kobe Beef dari Jepang yang mencapai nilai ekspor 250 juta dolar AS di tahun yang sama.
“Indonesia memiliki megabiodiversitas terbesar kedua di dunia, tetapi belum masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah indikasi geografis terbanyak. Dari 182 produk indikasi geografis terdaftar dan 261 potensi indikasi geografis, kita harus mendorong strategi branding agar produk kita bisa bersaing di pasar global,” tambahnya.
Untuk memperkuat daya saing produk indikasi geografis, diperlukan langkah-langkah komersialisasi seperti riset pasar, pengembangan produk, branding, dan promosi. Sebelum masuk pasar, produsen harus memahami kebutuhan dan regulasi pasar, baik domestik maupun internasional. Misalnya, produk untuk pasar Amerika harus memiliki label USDA Organic.
Dalam strategi branding, indikasi geografis harus diposisikan sebagai brand yang kuat dengan elemen persepsi kualitas, produk komunal, loyalitas, brand awareness, dan sinergi kolaboratif. Namun, menurut Irma, masih ada tantangan dalam promosi produk indikasi geografis. Banyak produk indikasi geografis masih dikemas seperti komoditas biasa tanpa label yang jelas, sehingga sulit membangun persepsi premium di pasar.
Salah satu strategi efektif adalah dengan menjalin kerja sama dengan industri besar. Contoh sukses dari co-branding antara industri besar dengan produk indikasi geografis adalah cabai rawit Hyung yang berkolaborasi dengan Sambal ABC serta Kakao Berau yang menggandeng D'Lanier Roasted Almond di Eropa.
Selain itu, promosi indikasi geografis juga dapat dilakukan melalui sektor pariwisata. Wisata berbasis indikasi geografis sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah, seperti yang dilakukan oleh Eco Tourism indikasi geografis Cheese Gruyere di Swiss dan indikasi geografis Garam Amed-Karangasem di Bali.
DJKI telah memulai langkah promosi indikasi geografis dengan menggandeng chef ternama seperti Chef Bara serta melalui program TV Jelajah Indikasi Geografis. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap produk indikasi geografis Indonesia dan memperkuat daya saingnya di kancah global.
Melalui komersialisasi dan strategi branding yang tepat, diharapkan produk-produk indikasi geografis Indonesia dapat semakin dikenal dan memberikan dampak ekonomi yang lebih luas.
“Dengan pelindungan dan strategi pemasaran yang tepat, kita dapat menjadikan produk indikasi geografis sebagai kekuatan brand yang unggul dan berdaya saing tinggi,” tutup Irma.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menerima audiensi dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Barat pada 5 Maret 2025 di gedung DJKI. Pertemuan tersebut dilakukan dalam rangka koordinasi dan konsultasi langkah strategis untuk memenuhi target kinerja Kanwil Hukum Kalbar di bidang kekayaan intelektual (KI) pada tahun 2025.
Rabu, 5 Maret 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) melalui Direktorat Merek dan Indikasi Geografis gelar rapat usulan pembentukan Undang-Undang (UU) Indikasi Geografis untuk memperkuat ekosistem dan meningkatkan komersialisasi produk berbasis Indikasi Geografis, Di ruang rapat lantai 10 gedung DJKI pada Senin, 3 Maret 2025.
Senin, 3 Maret 2025
Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menyelenggarakan kegiatan tausiyah rutin selepas sholat dzuhur berjamaah di lantai 10 gedung DJKI, Jl. H R Rasuna Said, Jakarta.
Senin, 3 Maret 2025
Rabu, 12 Maret 2025
Selasa, 11 Maret 2025
Senin, 10 Maret 2025