Jakarta - Ada yang sudah tahu tentang Indikasi Geografis? Atau pernah mendengar pelindungan kekayaan intelektual (KI) atas suatu produk yang ada nama daerahnya? Seperti Kopi Arabika Toraja atau Beras Pandanwangi Cianjur?
Dari penyebutan nama produk tersebut, kita dapat mengetahui daerah asal dari Kopi Arabika Toraja yaitu dari daerah Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan. Sama halnya dengan Beras Pandanwangi yang tentunya berasal dari daerah Cianjur, Jawa Barat.
Menariknya, penamaan daerah pada produk tersebut, itulah yang disebut pelindungan IG. Untuk mendapatkan pelindungan IG, tentunya produk tersebut wajib memenuhi syarat yang diatur undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Jadi apa itu IG? Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Koordinator Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Irma Mariana menjelaskan bahwa dalam hal ini, faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut dapat berdampak pada hasil yang dimiliki oleh barang atau produk yang dihasilkan.
“Jadi, jika dilakukan pemrosesan ataupun penanaman pada daerah yang berbeda, tentu hasilnya sudah pasti akan berbeda antara daerah satu dengan daerah lain,” kata Irma saat ditemui di Kantor DJKI, Jumat, 28 Juli 2023.
Sebagai contoh ilustrasi, biji arabika yang ditanam di daerah selain di Toraja Sulawesi Selatan, akan berdampak dan memiliki hasil yang berbeda dari yang ditanam di daerah Toraja.
Namun, menurut Irma, tidak semua barang atau produk dapat dilindungi oleh IG. Hanya produk yang memiliki reputasi, karakteristik dan kualitas yang baik yang bisa dilindungi sebagai IG. Produk tersebut dapat berupa hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan, makanan olahan, hasil kerajinan tangan, serta produk lainnya yang mengindikasikan nama tempat, daerah atau wilayah produk tersebut berasal.
Selain itu, dirinya menyebutkan beberapa hal suatu produk tidak dapat dilindungi dan didaftarkan IG, di antaranya yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
“Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya, merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, atau telah menjadi nama generik,” ungkap Irma.
Indikasi Asal
Selain IG, kita juga perlu mengenal Indikasi Asal. Dalam konvensi internasional, khususnya pada Perjanjian Madrid atau Madrid Agreement, menyebutkan bahwa perjanjian ini tidak menggunakan istilah Indikasi Geografis, tetapi indikasi asal atau Indications of Source dari produk barang.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal, disebutkan bahwa definisi Indikasi Asal adalah ciri asal barang dan/atau jasa yang tidak secara langsung terkait dengan faktor alam yang dilindungi sebagai tanda yang menunjukkan asal suatu barang dan/atau jasa yang benar dan dipakai dalam perdagangan.
Lantas, apa yang membedakan antara IG dan Indikasi Asal? Irma menerangkan bahwa Indikasi Asal tidak sama dengan IG, karena indikasi asal hanya mengidentifikasikan asal barang tersebut diproduksi dan tidak terkait dengan faktor alam.
“Kalau indikasi asal itu biasanya hanya menyebutkan asal produk itu berada, dan belum tentu produk tersebut mempunyai reputasi, karakteristik yang memang dibutuhkan spesifikasinya dalam sebuah produk indikasi geografis,” kata Irma.
Namun demikian, indikasi asal tetap memiliki manfaat terhadap produk barang atau jasa yang diperdagangkan, yaitu orang lain atau konsumen akan mengetahui daerah dari produk itu berasal. Khususnya dalam aktivitas perdagangan ekspor impor.
Misalnya, suatu perusahaan membuat produk sepatu di negara Indonesia, maka perusahaan tersebut harus mencantumkan asal negara yang memproduksi sepatu itu. Biasanya dengan mencantumkan tulisan “Made in Indonesia atau Buatan Indonesia”.
Menjawab tantangan tren pelanggaran kekayaan intelektual (KI) yang semakin marak melalui platform belanja daring dan sistem elektronik, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menggelar Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual bersama Satuan Tugas (Satgas) IP Task Force di Ruang Rapat DJKI Lantai 7, Jakarta, pada Kamis, 17 April 2025.
Kamis, 17 April 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum Republik Indonesia berpartisipasi aktif dalam acara WIPO ICT Leadership Dialogue (WILD) yang berlangsung pada 14 hingga 16 April 2025. Keikutsertaan DJKI dalam forum global yang terselenggara di Kantor WIPO tersebut bertujuan untuk berbagi pengalaman terkait strategi digital, tantangan transformasi, dan praktik terbaik dalam lingkup administrasi dan layanan kekayaan intelektual (KI).
Rabu, 16 April 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menerima audiensi dari Gerakan Nasional Indonesia Kompeten (GNIK) di Kantor DJKI, pada Selasa, 16 April 2025. Kunjungan yang mempertemukan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Razilu dengan Ketua Steering Committee GNIK Yunus Triyonggo ini membahas kolaborasi dalam penguatan manajemen pengembangan talenta bagi aparatur sipil negara khususnya DJKI. Kolaborasi ini menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya manusia unggul berbasis lima pilar strategis: manajemen modal manusia, kepemimpinan, pemahaman bisnis, ekonomi hijau, serta literasi dan keterampilan digital. Dengan harapan kolaborasi antara DJKI dan GNIK dapat melahirkan generasi pemimpin masa depan yang kompeten, adaptif, dan visioner.
Rabu, 16 April 2025
Kamis, 17 April 2025
Kamis, 17 April 2025
Rabu, 16 April 2025