Klasifikasi Nice Sebagai Instrumen Dalam Administrasi Sistem Pendaftaran Merek

Jakarta - Terhitung sampai tanggal 30 November 2021, telah tercatat sebanyak 84.426 permohonan kekayaan intelektual (KI) khususnya di bidang merek. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelindungan mereknya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggelar Organisasi Pembelajaran (OPERA) yang bertema Pengenalan Umum Sistem Klasifikasi Merek. 

Merek memiliki fungsi salah satunya adalah sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi pihak lainnya.

Oleh karena itu, diperlukan kriteria dalam menentukan kualifikasi suatu barang dan atau jasa. Terdapat dua sistem klasifikasi merek yang digunakan di dunia, yaitu Nice Classification yang berisi nama jenis barang dan jasa dan Vienna Classification dengan bentuk figuratif.

“Dalam hal pelindungan suatu merek mencakup penilaian persamaan pada pokoknya atau keseluruhan terhadap merek orang lain untuk barang dan atau jasa sejenis,” ujar Direktur Merek dan Indikasi Geografis Kurniaman Telaumbanua dalam sambutannya melalui Zoom Cloud Meeting pada Rabu, 23 Maret 2022.
 Kurniaman mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara pengguna Klasifikasi Nice dalam administrasi dan harmonisasi sistem pendaftaran merek sehingga diperlukan kriteria dalam menentukan kualifikasi suatu barang dan atau jasa seperti kelas pada merek. 

“Di Indonesia, Kelas Merek diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 Tentang Kelas Barang Atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek, kemudian diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek,” jelasnya. 

Kurniaman menambahkan bahwa dalam Klasifikasi Nice edisi 11 tahun 2018 terdapat 45 kelas yang secara umum terbagi atas kelas barang dan kelas jasa. 

“Kelas 1 sampai dengan kelas 34 merupakan kelas barang. Selanjutnya, kelas 35 sampai dengan 45 merupakan kelas jasa,” ungkap Kurniaman. 

Pada kesempatan yang sama, SubKoordinator Administrasi Permohonan dan Klasifikasi Merek, Erick Christian Fabrian Siagian juga menjelaskan bahwa Klasifikasi Nice sendiri ditandatangani di Nice, pada tanggal 15 Juni 1957 dan berlaku sejak 8 April 1961 lalu setelahnya terdapat revisi di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967, dan di Jenewa pada tanggal 13 Mei 1977.



“Namun setelahnya dilakukan modifikasi pada kodifikasi pada tanggal 28 September 1979 sehingga menggunakan edisi 11 tahun 2018,” jelasnya. 

Merek sendiri memiliki beberapa jenis yaitu merek dagang, merek jasa, merek dagang dan jasa dan merek kolektif. Adapun yang menentukan klasifikasi barang dan jasa dari suatu merek adalah fungsi dan bahan pembuatnya. 

“Misalnya pada tisu, klasifikasinya dapat dibedakan berdasarkan fungsinya. Sebagai contoh tisu basah dan tisu kering yang masing-masing memiliki perbedaan fungsi sehingga dalam hal ini mereka tidak ada dalam klasifikasi yang sama,” kata Erick. 

Begitupun dengan bahan pembuatan yang dapat membedakan jenis klasifikasinya, sebagai contoh bahan bangunan dari logam dan bahan bangunan dari non logam, meskipun sesama bahan bangunan tetapi tidak ada dalam klasifikasi yang sama. 

Dengan adanya OPERA ini, diharapkan seluruh pegawai di lingkungan DJKI dapat memahami sistem klasifikasi merek, sehingga dapat memberikan pelayanan publik terbaik kepada masyarakat yang hendak mengajukan permohonan pendaftaran merek sesuai dengan bidang usaha yang diterapkan atau dijalani dalam praktek bisnis Pemohon. (CAN/AMH).  


LIPUTAN TERKAIT

DJKI Evaluasi Sistem Digital, Siapkan Langkah Strategis Migrasi ke IPAS

Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum terus melanjutkan reformasi digital dengan menyiapkan langkah strategis migrasi ke Industrial Property Administration System (IPAS). Sistem berbasis internasional ini dinilai dapat menghadirkan layanan kekayaan intelektual (KI) yang lebih efisien, aman, dan terintegrasi.

Kamis, 24 April 2025

Menemukan Titik Temu: Hak Cipta dan Hak Asasi Manusia di Era Digital

Di era digital yang semakin kompleks, hubungan antara hak cipta dan hak asasi manusia (HAM) menjadi sorotan penting. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum gelar webinar pada Kamis, 24 April 2025, di Kantor DJKI bersama Anggara Suwahju, Managing Director Chayra Law Center, menyoroti pentingnya mencari keseimbangan antara pelindungan terhadap pencipta karya dan kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi.

Kamis, 24 April 2025

DJKI dan WIPO Bahas Penguatan Transformasi Digital Layanan KI

Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat pelindungan kekayaan intelektual (KI) di Indonesia. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah menguatkan jalinan kolaborasi dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) dalam pengembangan sistem administrasi KI berbasis teknologi informasi yang terintegrasi dan modern.

Rabu, 23 April 2025

Selengkapnya