Indikasi Geografis sebagai Pilar Ekonomi: Strategi Pelindungan dan Optimalisasi

Jakarta - Indikasi geografis bukan sekadar penanda asal-usul produk, tetapi juga jaminan kualitas dan warisan budaya yang bernilai ekonomi tinggi. Produk yang telah mendapatkan sertifikasi indikasi geografis terbukti mengalami peningkatan nilai dan daya saing, seperti Garam Amed dari Bali yang nilainya naik sepuluh kali lipat, serta Kopi Gayo dari Aceh dan Kopi Arabika Koerintji dari Jambi yang kini diekspor ke berbagai negara. Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan, mengingat jumlah indikasi geografis yang terdaftar masih jauh dari yang seharusnya.

Salah satu kendala utama dalam pengembangan indikasi geografis adalah kurangnya pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah mengenai manfaatnya. Direktur Merek dan Indikasi Geografis, Hermansyah Siregar, menekankan bahwa pendaftaran indikasi geografis bertujuan memberikan pelindungan hukum, meningkatkan daya saing, serta menjaga standar kualitas produk lokal agar tetap kompetitif. 

“Manfaat pelindungan indikasi geografis sangat besar, mulai dari mencegah penyalahgunaan dan pemalsuan produk hingga meningkatkan nilai tambah melalui pengakuan keaslian. Produk indikasi geografis juga harus menjaga kualitas, karakteristik, dan reputasinya,” ujar Hermansyah pada Webinar Edukasi Kekayaan Intelektual  dengan tema Sinergi Kebijakan, Inovasi, dan Kearifan Lokal Dalam Mengoptimalkan Pemanfaatan Indikasi Geografis pada Rabu, 26 Februari 2025, di Kantor DJKI. Namun, agar sistem pelindungan ini lebih efektif, ia juga menyoroti perlunya revisi regulasi, termasuk pemisahan UU indikasi geografis dari UU Merek agar fokusnya lebih jelas dan terarah.

Dari sisi kebijakan, pemerintah tengah menyusun Peraturan Presiden terkait indikasi geografis untuk memperkuat landasan hukum dan mekanisme pengelolaannya. Langkah ini sejalan dengan upaya memperkuat kontribusi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto nasional. Direktur Ketahanan Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Budi Arwan, menjelaskan bahwa pemerintah juga telah menyusun pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola dan mengawasi indikasi geografis, termasuk dalam aspek pembiayaan dan pelindungan hukumnya. “Sejumlah daerah telah mengambil langkah konkret dalam mendukung indikasi geografis, seperti Pemerintah Aceh yang mendukung sertifikasi organik Kopi Gayo, serta Pemerintah Nusa Tenggara Timur yang mengembangkan Tenun Ikat Sumba melalui festival budaya. Pemda juga didorong untuk membentuk tim kerja lintas sektor guna memastikan program indikasi geografis berjalan optimal,” kata Budi.

Dalam praktiknya, keberhasilan indikasi geografis tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada dukungan komunitas dan pelaku usaha. Khalid, Wakil Ketua Masyarakat Pelindungan Kopi Gayo (MPKG), menegaskan bahwa pelindungan indikasi geografis harus didukung oleh kesadaran kolektif dalam menjaga kualitas dan keunikan produk. “Sertifikat indikasi geografis Kopi Arabika Gayo dimiliki oleh MPKG, yang terdiri dari petani kopi, UMKM, dan eksportir. Sertifikat ini memastikan bahwa Kopi Arabika Gayo hanya berasal dari wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues,” ujarnya. Dengan adanya sistem ini, indikasi geografis tidak hanya menjadi alat pelindungan, tetapi juga instrumen yang memastikan keberlanjutan ekonomi berbasis komunitas.

Guna mempercepat penguatan indikasi geografis, DJKI telah meluncurkan Peta Jalan Indikasi Geografis 2025-2029 yang bertujuan memperluas pendaftaran dan pemanfaatan indikasi geografis sebagai pilar ekonomi daerah. Sejalan dengan itu, DJKI juga menginisiasi program Geographical Indication Goes to Marketplace untuk membantu pemilik indikasi geografis mengakses pasar digital dan e-commerce. Direktur PNB dan Fasilitas KI Kementerian Kebudayaan, Yayuk Sri Budi Rahayu, menambahkan bahwa pemajuan kebudayaan harus dilakukan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia kebudayaan. 

“Optimalisasi peran kebudayaan melalui pelindungan hingga pemanfaatan akan memajukan produk indikasi geografis dan memberikan manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.

Dengan berbagai strategi yang telah disiapkan, indikasi geografis diharapkan tidak hanya menjadi alat pelindungan hukum, tetapi juga pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan daya saing produk unggulan Indonesia di pasar global.

 



LIPUTAN TERKAIT

Melindungi Warisan Budaya: DJKI Terima Audiensi Kanwil Kemenkum dan Dekranasda NTB

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menerima audiensi Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kanwil Kemenkum) Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTB pada 4 Juni 2025. Kegiatan yang terselenggara di Gedung DJKI ini dilakukan dalam rangka membahas upaya maksimalisasi potensi kekayaan intelektual (KI) di wilayah tersebut. Audiensi ini menjadi langkah awal dalam melindungi dan mengembangkan berbagai warisan budaya serta produk unggulan UMKM di NTB.

Rabu, 4 Juni 2025

Kemenkum Raih Rekor MURI atas Mars Kekayaan Intelektual Indonesia

Kementerian Hukum Republik Indonesia menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas kategori institusi dengan mars unsur varian etnik terbanyak. Penghargaan MURI ini diberikan pada Rabu 4 Juni 2025 di Graha Pengayoman Jakarta dan diterima langsung oleh Menteri Hukum RI Supratman Andi Agtas.

Rabu, 4 Juni 2025

Satu Dekade DJKI: Apresiasi Kontributor Kekayaan Intelektual dan Komitmen Memperkuat Ekosistem Inovasi Nasional

Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menyelenggarakan kegiatan Ekspose Kinerja Satu Dekade dan Apresiasi Kekayaan Intelektual (KI) ) dalam rangka hari KI sedunia tahun 2025 pada 4 Juni 2025 di Graha Pengayoman sebagai refleksi perjalanan 10 tahun pelindungan kekayaan intelektual (KI) di Indonesia. Kegiatan ini sekaligus menjadi wadah apresiasi dan pembuktian atas tumbuhnya ekosistem KI nasional sebagai penopang kemajuan bangsa di era digital.

Rabu, 4 Juni 2025

Selengkapnya