Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena sound horeg menjadi tren yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya dalam kegiatan hiburan di ruang publik seperti pesta pernikahan, arak-arakan, hingga panggung hiburan rakyat. Atraksi ini memiliki ciri khas menggunakan speaker atau sound system yang memiliki daya besar dan memutar lagu-lagu populer dengan aransemen yang unik, serta terkadang disertai dengan pertunjukan visual atraktif.
Namun, suara yang keras serta dentuman yang keluar dari speaker, acapkali menimbulkan keresahan, karena selain mengganggu ketenangan, juga dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan di sekitar sound horeg. Oleh sebab itu, muncul banyak pro dan kontra di masyarakat atas atraksi ini. Bagaimanakah sebenarnya kedudukan ‘sound horeg’ dalam kacamata pelindungan kekayaan intelektual (KI)?
Dalam wawancara di kantor DJKI pada Rabu, 30 April 2025, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Agung Damarsasongko mengimbau kepada masyarakat untuk menelaah terlebih dahulu fenomena sound horeg yang ramai diperbincangkan di masyarakat. “Kita harus bisa membedakan terlebih dahulu mana yang merupakan suatu kreativitas yang penting untuk dilindungi KInya, mana dampak yang merugikan untuk masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut sangat penting untuk dibedakan terlebih dahulu, karena terdapat hasil karya kreativitas seseorang yang harus tetap dihargai dan dilindungi kekayaan intelektualnya. Dalam satu fenomena sound horeg mengandung beberapa obyek KI yang masing-masing dapat dilindungi sebagai kreativitas.
Lebih lanjut, adanya teknologi yang digunakan untuk menimbulkan suara dengan desibel yang tinggi dapat dilindungi patennya, sedangkan bentuk kreasi sound horeg yang beraneka ragam dapat dilindungi desain industrinya apabila terdapat kebaruan pada produknya.
“Kemudian untuk musik remix yang diputar, ini dapat dilindungi hak ciptanya dengan tidak meninggalkan hak moral dan hak ekonomi para pemilik karya yang diremix. Dalam artian, musisi yang membuat musik remix ini harus membayar royalti dan atau meminta izin terlebih dahulu atau kepada para pemilik lagu yang mereka gunakan,” terang Agung.
Sementara itu, menyikapi penolakan masyarakat yang sedang berkembang, Agung mengajak pihak-pihak terkait untuk bersama-sama menciptakan aturan supaya fenomena ini dapat digunakan pada tempat dan kesempatannya, sehingga tidak memberikan dampak buruk kepada masyarakat tanpa menghilangkan pelindungan KI atas kreativitas yg dihasilkan.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum melalui Direktorat Merek dan Indikasi Geografis kembali menggelar Rapat Tim Ahli Indikasi Geografis untuk membahas hasil pemeriksaan substantif terhadap sejumlah permohonan Indikasi Geografis dari berbagai daerah di Indonesia.
Selasa, 8 Juli 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum melaksanakan pemeriksaan substantif permohonan indikasi geografis ‘Kemenyan Tapanuli Utara’ secara daring pada Kamis, 3 Juli 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya DJKI mempercepat pelindungan hukum produk unggulan daerah sekaligus mendorong efisiensi layanan publik berbasis digital.
Jumat, 4 Juli 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum RI memperkenalkan inovasi pemeriksaan substantif secara daring untuk permohonan indikasi geografis. Terobosan ini bertujuan untuk mendorong percepatan layanan sekaligus memperluas jangkauan pelindungan produk unggulan daerah.
Kamis, 3 Juli 2025